Dari ketinggian 3225m dpl, kami turun ke Danau Habema di ketinggian 3170m dpl, hanya turun sekitar 90m saja, tidak sulit rasanya, kapan lagi kalau tidak sekarang? Setapak demi setapak dengan kecepatan sangat lambat bagai keong saya mengangkat kaki perlahan, bukan karena malas atau enggan, namun tiap meter saya melangkah selalu melihat hal-hal baru, terutama jenis vegetasinya, sepanjang mata memandang jenis rumput-rumputan rawa (Deschampsia) bagai karpet emas, berkali-kali saya terjebak dalam genangan air, karena mata terlalu sibuk melihat ke kanan dan kekiri sambil terus memandangi puncak Gunung Trikora yang perlahan ditutupi awan, tak ingin lepas memandang puncaknya, walau sambil berjalan. Sembari memotret setiap tanaman unik yang saya temukan. Entah berapa kali sudah terperosok dalam kubangan lumpur, tak apalah, jauhnya Bogor ke Papua ini tidak sebanding dengan sekedar kotor dalam lumpur, siapa tau kaki saya tambah halus dengan masker lumpur Habema ☺. Sepatu yang berwarna hitam kini sudah berganti coklat, celana panjang sudah basah hingga lutut

Hening, sunyi sendiri, rasanya tadi begitu riuh teman-teman saling canda dalam perjalanan, namun rekan saya Danan rasanya tadi ada di depan saya tiba-tiba sudah menjauh disana, tampak mengecil , saya jauh tertinggal
Kalau ada pepatah mengatakan “biar lambat asal selamat, kali ini saya kibarkan motto “biar tertinggal asal memotret”. Danau Habema hamparan indah nan cantik bak permadani Persia.
Danau Habema yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz ini sangat banyak ditumbuhi oleh vegetasi Savana. Berdasar penelitian pihak taman Nasional Lorentz, ada belibis di danau, namun saya belum menemukannya, tapi sempat memotret burung udang yang melintas terbang, bak roket melesat sayapun menghujam shutter kamera berkali-kali agar mendapatkan foto burung itu. Cepreett… blesss kaki saya tercebur lagi dalam lumpur saat berusaha meloncati parit selebar 1 meter.

Satu kilometer di kanan saya tampak populasi tanaman pakis, sekilas mirip pohon kurma yaitu tampaknya jenis Alsophila sp, dan dikiri saya menjulang tinggi diantara rerumputan Nothofagus sp, yang biasa dibuat sebagai tanaman Bonsai.
Myrmecodia pendans atau biasa dikenal dengan sarang semut, kerap ditemukan, bentuknya unik menggelembung, seperti balon, kulitnya berduri dan hidup menempel di pohon inangnya sejenis cemara ujung jarum (Conifer). Ada yang sudah terbelah ada juga yang masih utuh, dari celah-celah lubangnya keluar semut hitam berukuran 10 kali semut hitam biasa.

Saya juga menemukan Cantigi sebagai tanaman khas dataran tinggi, Cantigi ini juga pernah saya lihat di Gunung Rinjani dan Gunung Gede. Ada juga lumut aneka jenis, dari lumut janggut hingga lumut daun berwarna kuning, hijau dan putih. Unik yaa. Rasanya tidak cukup hanya setengah hari disini. Namun siapa tahan berada disini lama-lama karena Danau habema adalah salah satu danau tertinggi di Indonesia dengan suhu 7-15 drajat celcius.
