Horas … Melalak di Medan,

Dari Stasiun ke Mesjid Raya

Horas Medan, dalam hati terucap setiap saat saya kembali ke Kota ini. Saya lahir dan besar disini. Tumbuh dan berkembang bersama lingkungan peradaban melayu dan batak, walau saya dari suku minang, orang tua sejak tahun 60 an sudah merantau ke kota ini. Tak ayal lagi logat khas Medan sangat kental di diri saya. Walau sudah merantau puluhan tahun di pulau Jawa. Namun selalu mengembalikan kenangan saya akan Kota ini, serta merta rasa bangga menjadi anak Medan membawa saya kembali ke suasana lama. Medan, walau kotamu masih tetap semrawut, dimana kadang rambu lalu lintas hanya sekedar pajangan di jalan raya, suara deru klakson saling berebut berteriak, suara dan asap angkutan umum berderu-deru dimana-mana, suara becak motor yang meraung kencang, tetap saja membuat Saya rindu kota ini.

Landing mulus di Bandara Kuala Namu, bandara baru berkelas International ini baru saja di operasionalkan tahun 2013, sekitar 40 km dari bandara Lama Polonia yang tepat berada di pusat kota. Bandara Kuala Namu nan megah luasnya 10.000m2 ini berlantai 2, lantai 1 untuk kedatangan dan lantai 2 untuk keberangkatan. Uniknya lagi selain tersedia fasilitas Damri menuju pusat kota Medan, ada pula Kereta Api yang menghubungkan bandara Kuala Namu dari dan ke stasiun kereta api di Pusat Kota Medan, perjalanan bisa ditempuh selama 45 menit, dengan harga Rp 80.000 sekali jalan, sangat efisien bukan dibanding harus melewati jalan raya yang beresiko macet dan bisa memakan waktu 2 jam lebih di perjalanan.

 

Mulai dari mana menjelajah Kota Medan?
Tiba di stasiun Kota Medan, mulai dari sini sebenarnya napaktilas sudah berawal, Stasiun Kereta api Medan termasuk dalam bangunan bersejarah, mengapa begitu ?? yak arena rel kereta api di stasiun ini merupakan rel pertama yang di bangun di pulau Sumatera, yaitu tahun 1886 oleh Perusahaan Kereta Api Swasta Belanda yang dulu bernama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), dahulu kala rel ini digunakan sebagai sarana angkutan tembakau ke pelabuhan. Sehingga pada tahun 1914 dibangunlah sebuah stasiun di tempat ini.   Arsitektur Stasiun Medan telah mengalami perombakan total dari bentuk aslinya. Hal yang tersisa dari kompleks bangunan stasiun lama adalah adanya Menara Jam di bagian muka stasiun yang masih berarsitektur Belanda, bagian atap peron yang menaungi jalur 2 dan 3, serta jembatan gantung di ujung sebelah selatan stasiun. Cobalah sejenak berkeliling stasiun karena perjalanan di Kota Medan akan berawal dari sini.

Kawasan Kuliner Merdeka Walk

Asiknya dengan berjalan kaki saja, karena setiap sudut menjanjikan sajian unik dari kota ini. Yuk kita mulai dari sisi kanan, di depan stasiun kita akan melihat sebuah lapangan besar, yaitu lapangan perjuangan rakyat Medan, dikenal sebagai lapangan merdeka, saat zaman penjajahan Belanda disebut Esplanade dan pada waktu pendudukan Jepang bernama Fukuraido. Lapangan merdeka sendiri sering digunakan berbagai kegiatan, dari olahraga, upacara kenegaraan hingga pentas musik.

Diseberang dari lapangan merdeka, dikenal dengan nama Merdeka Walk, yaitu Pusat Kuliner, biasanya mulai buka pukul 11.00 hingga tengah malam, aneka ragam jajanan khas Medan, hingga makanan sea food, jangan lupa mencoba kerang rebus khas Medan dengan sambal nenas dan kacangnya, di jamin tidak cukup satu porsi.
Rasakan sensasi duduk santai di area Merdeka Walk dengan jajaran pohon-pohon asam berukuran raksasa yang membuat teduh jalan dengan hiruk pikuk lalu lintas, hati-hatilah menyeberang jalan karena kendaraan sangat kencang melaju di daerah ini, dan lebih amannya gunakan jembatan penyeberangan di depan kantor Pos.

Titik Nol Kota Medan.  Kalau di Pulau Sabang di Aceh, kita mengenal sebagai titik nol Indonesia, nah Balai Kota ini adalah sebagai titik nol Kota Medan, bangunan bernilai seni ini sangat unik bentuknya, sejak tahun 2006 sudah dilakukan renovasi dengan perluasan pembangunan gedung balaikota dibelakangnya. Namun bentuk asli dari balai kota lama masih tetap dipertahankan.

Kantor pos sebagai titik Nol Kota Medan

Berdiri di area ini begitu banyak bangunan bersejarah lainnya, ada kantor pos, perhatikan bagian atas bangunannya, tertulis anno 1911, bangunan yang sampai saat ini masih menjadi kantor PT. Pos Indonesia, cobalah masuk ke dalamnya, terasa sejuk karena bangunan khas gaya eropa berplafon tinggi dan cantiknya kaca ukir warna warni masih tampak menghiasi jendela kantor pos, bentuk atap persegi lima dari sirap kayu berwarna coklat kehitaman.
Selanjutnya mari menyusuri daerah Kesawan, dahulu jalan ini dikenal sebagai daerah pecinan, banyak rumah-rumah kayu khas keturunan china berjajar, namun karena terjadi kebakaran hebat di tahun 1800an rumah-rumah kayu tersebut berganti menjadi ruko-ruko beton, hingga saat ini masih bisa kita saksikan keberadaannya, antara lain:

Kawasan kesawan

Gedung Lonsum
Tampak mencolok mata, sebuah gedung putih berpilar menjulang dengan deretan sejumlah jendela lengkung di sudut jalan. Khas bangunan bergaya eropa. Dahulu gedung ini bernama Gedung Juliana, dibangun oleh David Harrison seorang pemilik perkebunan karet Harrison & Crossfield company (H&C) dan selesai dibangun saat kelahiran Ratu Juliana tahun 1909. Bangunan sejarah ini masih dipertahankan keberadaannya dan masih pula berfungsi sebagai gedung London Sumatra, atau biasa disebut gedung Lonsum

Gedung Lonsum

 

Berjalan menyusuri kawasan Kesawan ini mengingatkan saya akan suasana china town di Singapura ataupun suasana kota George Town di Penang. Terselip di antara bangunan ruko, menyusuri Jalan Ahmad Yani, konon inilah jalan tertua di Kota Medan, kita bisa menemukan sebuah pagar bergapura dengan pintu kayu atapnya melengkung bentuk bangunan khas tionghoa. Sejaran mengenalnya sebagai seoran saudagar keturunan China yaitu Tjong A fie.

Rumah Tjong A Fie.  Beliau adalah orang terkaya di Medan yang memiliki Bank Kesawan, membangun rel kereta api di China, menguasai seluruh perkebunan di Sumatera. Karena keluwesannya dalam menyelesaikan perselisihan dan masalah di perkebunan zaman itu, Tjong A Fie diangkat menjadi “Kapitan Tionghoa” oleh pemerintah Hindia Belanda. Peninggalan Tjong A Fie yang Bisa dinikmati sekarang adalah rumah kediamannya di daerah Kesawan yang dikenal juga dengan Jalan Ahmad Yani

Suasana ruang Tamu rumah saudagar Tjong A Fie

Saat ini Rumah Tjong A fie sudah di buka untuk umum, mulai pukul 09.00-17.00. Dengan Harga tiket masuk Rp 35.000, kita mendapatkan leaflet dan fasilitas guide yang menjelaskan sejarah tentang Tjong Afie, keluarga serta beberapa peninggalannya yang masih tersisa, antara lain tempat tidur, alat music, kursi tamu dan benda-benda rumah tangga, tertata dalam susunan aslinya. Suasana rumah Tjong Af ie ini sangat mirip dengan salah satu heritage di Kota Penang yaitu Peranakan mansion di Lebuh Gereja, mulai dari bentuk rumah, ruangan tengah, kamar hingga bentuk tangganya, konon masih ada kaitan keluarga dengan Tjong A fie, karena Tjong A fie pernah menikah dengan nona Chew yang berasal dari Penang.

Belum selesai hingga di rumah Tjong A fie, karena kita juga bisa merasakan suasana jadoel dengan menikmati es krim di cafe Tip Top. Tahun 1929 restauran ini bernama Jangkie, sesuai nama pemiliknya, dan berada di jalan Pandu, Medan. Setelah beberapa waktu, restauran ini pindah ke Kesawan pada tahun 1934 dan bernama Tip-Top (yang berarti “sempurna”). Uniknya sajian menunya masih menggunakan istilah zaman dahulu, dan tungku masaknya juga masih digunakan dari tahun 1934 hingga sekarang. Rasakan aura ke jadoel-annya, anda akan merasakan bak noni Belanda yang duduk santai menikmati kota. Sajian es krimnya sangat terkenal, dan nikmati sebagai pelepas dahaga di Kota Medan yang cukup panas.

Perjalanan dari Café tip top, berbeloklah ke kiri, disanapun kita akan menyusuri bangunan-bangunan tua mirip seperti jalan Braga di Bandung, kita bisa menemukan juga pasar Hindu, yang menjual aneka jajanan pasar, ada es cendol, bakpau, pangsit, dan lanjutkan langkah menuju jembatan sungai Deli, setelah kantor Gubernur di kiri jalan ada berdiri sebuah patung laki-laki berdiri gagah memegang tongkat.

Pasar Hindu

Monumen Guru Patimpus

Siapakah tokoh ini? Dialah Guru Patimpus Pelawi, Pendiri Kota Medan, beliau lahir di Karo dan menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan dan mempunyai dua orang putera, kemudian hijrah dari Karo dan membuka kawasan hutan yang berada di antara sungai Deli dan Sungai Babura pada 1 Juli 1590, dan wilayah inilah yang saat ini dikenal dengan nama Kota Medan, dan tanggal tersebut dianggap sebagai hari jadi Kota Medan.

Monumen Guru Patimpus, pendiri kota Medan

Monumen Guru Patimpus yang diresmikan pada tanggal 23 Maret 2005 ini menggambarkan sosok seorang Guru yang bertubuh kekar, tinggi, gagah, dan berjiwa patriotik bak seorang panglima yang memiliki keahlian dalam berbagai ilmu pengetahuan, ilmu obat-obatan, ilmu gaib, dan memiliki kesaktian, selan itu juga berjiwa penuh kemanusiaan lemah lembut dalam bertutur kata, mempunyai karakteristik yang simpatik, berwibawa, berjiwa besar dan pemberani. Inilah yang tergambar dalam sebuah monumen itu.

Soto santan Sinar Pagi

Nah setelah puas melihat-lihat tugu Guru Patimpus ini, berbaliklah kearah belakang, di jalan Sei Deli, ada rumah makan Soto “Sinar Pagi” rasakan soto khas ala Medan disini, mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan menuju daerah Kesawan. Rumah makan soto santan “Sinar Pagi” , dahulu di rintis oleh datuk Indo kayo sejak tahun 1965. letaknya yang strategis di persimpangan jalan Gatot Subroto dan jalan Sei Deli membuatnya tidak sulit ditemukan. Jangan Kesiangan tiba disini karena selain pengunjung yang ramai, rumah makan ini juga hanya buka hingga pukul 14.00 saja.  Soto khas dengan cita rasa kuah bersantan kuning kehijauan dengan daun sledri mengambang di atasnya, jangan lupa menyantap juga perkedel dan kerupuk empingnya, ada juga rempeyek udang ataupun kacang yang menambah nikmat sajian soto ini, bisa di padu dengan sambal cabe merah atau sambal kecap, selain soto rumah makan Sinar Pagi juga menyediakan sup daging yang tidak kalah nikmat dengan sotonya Buka: Pukul 07.00 – 14.00 WIB (Setiap hari)

Harga: Soto ayam atau daging sapi: Rp 20.000, sop daging Rp 20.000 Nasi Putih: Rp 4.000,  perkedel Rp 2000, peyek Rp 5000, emping Rp 4.000, uhmmm
Kenyang? Tentuuu, yuk kita lanjutkan perjalanan

Becak Medan.  Jangan sampai terlewat, karena becak Medan sangat khas, kalau biasanya becak di kayuh, maka di Medan ini dikenal becak bermotor, yaitu menggunakan sepeda motor sebagai penggeraknya. Disini dikenal dengan sebutan Becak Mesin.

Kemana dengan becak mesin ini?, katakana saja ke Istana Maimun, tentu semua abang becak disini sangat familiar dengan lokasi Istana Maimun, jangan lupa bernegosiasi harga, dari Patung Guru Patimpus ke Istana Maimun bisa berkisar Rp 10.000- Rp 20.000.

 

Istana Maimun

Istana Maimun

Apabila ingin mengetahui sejarah penduduk Melayu di Kota Medan, disinilah Pusatnya, sebuah istana megah bernuansa kuning sebagai lambang kemegahan, kebangsawanan seorang raja. Seluruh bangunan Istana terbuat dari kayu. Dengan halaman rumput nan luas, terkadang masih digunakan sebagai tempat bermain bola masyarakat setempat.

Sebelum masuk ke dalam istana, jangan lewatkan bangunan berukuran 4 x 6 m di halaman luar, disini tersimpan meriam buntung, yaitu meriam yang bagian larasnya sudah patah, sejarah mencatat bahwa akibat laras meriamnya yang terlalu panas karena menembak terus menerus, maka akhirnya meriam pecah menjadi dua bagian. Ujung meriam yang merupakan bagian yang satu, melayang dan menurut dongeng jatuh di Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Tanah Karo. Sedangkan bagian yang lain disimpan pada bangunan kecil di sisi kanan Istana Maimun.

Istana ini dibangun oleh Sultan Deli, Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada 1888 dengan arsitek yang didatangkan dari Italia. Arsitektur istana ini  memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, Islam, Spanyol, India dan Italia. Waktu berkunjung istana mulai pukul 08.00 WIB – 17.00 WIB, dengan harga tiket Rp 8000 saja.

Terdapat 30 ruangan di Istana yang merupakan peninggalan Kesultanan Deli. Namun tak semua ruangan boleh di kunjungi, sebuah kamar di tampilkan dengan tempat tidur lengkap dengan meja rias model kerajaan, ruang tengah lebar sebagai tempat raja menerima para tamunya, tampak sebuah pelaminan kerajaan dan sebuah singgasana yang didominasi warna kuning keemasan. Sedang di bagian belakang ruang utama, aneka peninggalan kerajaan seperti pedang, keris, tombak peralatan memasak juga masih terpelihara dengan cukup baik . Ingin merasakan bak putri raja? Atau menjadi raja sehari? Tentu bisa, sewalah seperangkat baju adat melayu disini ada warna biru, kuning merah atau hijau, hanya dengan Rp 25.000 kita bisa berpose ala kerajaan di istana Maimun. Pilihlah di depan singgasana raja atau di pilar-pilar kayu di teras istana.

Hari sudah beranjak gelap, usai menjadi putri raja di Istana maimun, sayup sayup terdengar suara mengaji dari sebuah menara masjid. Sayapun bergegas meninggalkan istana, cukup dengan berjalan kaki, tak jauh hanya 300 m menuju Mesjid Raya. Mesjid yang juga diprakarsai oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah dahulunya menyatu dengan kawasan Istana Maimun, namun karena pesatnya perkembangan Kota Medan, terpisahlah masjid ini dari kawasan istana.

Masjid Raya yang awalnya dibangun tahun 1906 baru selesai di tahun 1909. Gaya arsitekturnya khas Timur Tengah, India dan Spanyol berbentuk segi delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, utara dan barat.

Mesjid Raya Medan

Lampu-lampu masjid sudah mulai menyala, suara adzan-pun sudah berkumandang, orang-orang sudah mulai sibuk masuk ke dalam masjid, suasana senja menambah keanggunan masjid ini. Anak tangga menuju dalam masjid sudah dipenuhi oleh umpukan sandal-sandal umat. Berputar melewati teras kiri, pilar-pilar besar nan angkuh, serta jendela kaca warna warni tampak bersinar oleh pancaran lampu. Karpet merah terbentang di dalam mesjid, sebuah mimbar kayu menghiasi ruangan, hiasan kaligrafi berjajar dalam lingkaran kubah nan tinggi. Indahnya Mesjid menutup decak kagum saya oleh suara takbir.

 

#melalak : Jalan-jalan santai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *