Blast to The Past. Jangan lupakan sejarah, motto ini kerap kita dengar dalam setiap ice breaking sebuah pidato. Kalimat bermakna besar namun pelaksanaannya terkadang kok ya berat banget. Coba kalau di bandingkan dengan nonton kisah cinta ataupun film futuristik yang menjamur di Bioskop akhir ini. Kaki ringan banget melangkah.
Yang jaman SMP-nya masih mempelajari sejarah perjuangan bangsa, tentu hafal banget dengan cerita kekayaan rempah Indonesia, hingga dendam Jan Pieterszoon Coen yang membuatnya sangat kejam dengan masyarakat banda
Usai acara halal bil halal KAGAMA minggu lalu di kebun raya. Saya langsung membeli tiket untuk acara Kagama Virtual berikutnya yaitu nonton bareng film “Banda, The Dark Forgotten Trail”. Kesempatan dapat nonton perdana nih sebelum resmi tayang di Bioskop mulai tanggal 3 Agustus 2017. Rasanya ada sebuah kemenangan terbersit hahahha, ya kemenangan mendapat jawaban atas rasa penasaran saya akan sebuah film dokumenter tentang Banda nan cantik.
Namun tak sekedar alasan itu. Banda Neira mengingatkan kisah perjalanan saya di tahun 2013. Sebuah perjalanan yang sangat spontan. Saat itu maskapai Garuda Indonesia sedang promo. Dan tanpa ragu ikutan browsing berburu tiket dong. Mulai dari membuat list destinasi yang tak umum dan belum pernah saya kunjungi. Termimpi-mimpi ingin ke Banda Neira sejak lama. Mungkin inilah saatnya, Ahaaa Klik… penerbangan Jakarta-Ambon saya dapatkan dengan harga Rp 1.400.000 pp. Rezeki yaa teman… etapi gak asik dong jalan sendiri. Akhirnya chating dengan Ingrid dan Lisa dan mengajak mereka turut berburu. Akhirnya merekapun mendapatkan harga tiket promo itu yang sama. Jadilah kami …. hore hore … bergembira mengunjungi Ambon dan sekitarnta. Bahagianya membuncah ketika fix kami bisa berangkat dengan pesawat menuju Bandaneira. Itinerary kami susun bersama, diskusi sana sini corat coret mana yang perlu dan ditunda. Dan lest go Kami melanglang buana ceria di di Ambon manise

Nah cerita lengkapnya bisa temen-temen baca disini:
http://trip.raiyani.net/bandaneira-negeri-kaya-sejarah-beraroma-rempah/
Artikel ini akhirnya menang sebagai Artikel terbaik Wonderful Indonesia kategori Natural yang diprakarsai oleh National Geography Indonesia.
Nostalgia, rasa rindu akan Banda Neira terobati sudah dengan melihat film Banda, The Dark Forgotten Trail” ini. Suasana Banda Neira tahun 1500 tergambar dengan teknik pembuatan film yang apik. Angle dan lighting yang ok banget. Sudut penyinaran banyak diambil dari arah samping hingga lebih menegaskan cerita sejarah. Suasana remang, gelap menggiring penonton masuk ke masa lalu. Kebun pala yang menjadi primadona dahulu yang kini menjadi tak lagi di pandang. Pala yang dahulu lebih berharga daripada emas, kita tak lagi berjaya. Para petani lada yang kian lama kian terpuruk oleh permainan fluktuasi harga rempah. Sang primadona kini tlah turun panggung. Pengolahan tradisional hasil rempah salah satu kendala menurunnya kualitas pala Banda. Perpaduan budaya Tionghoa, Arab, Eropa sangat kental tersaji dalam tarian Cakalele di benteng Belgica.
Terbayang kembali saat saya berlari menaiki anak tangga Benteng Belgica, berpindah dari satu bastion ke bastion lainnya. Merambah rerumputan benteng Nassau tempat pembantaian rakyat Banda oleh algojo Jepang. Saat berjalan di lorong klasik rumah budaya. Rumah Bung Hatta. Pulau Pisang alias pulau Sjahrir. Film ini menggugah siapapun yang mencintai sejarah. Semua yang tergambar di film benar nyata yang saya saksikan ketika berkunjung kesana. Tak banyak berubah. Benteng Belgica, Benteng Nassau, Benteng Holladia, kebun pala, rumah budaya, hotel delfika. Gereja tua, klenteng. Suasana Banda yang merindu.

Digarap apik oleh Sutradara bertangan dingin Jay Subyakto, Produser Sheilla Timothy, menambah kesyahduan sang narator dari suara kece Reza Rahardian. Untuk pertama kali Reza Rahardian menjadi narator sebuah film dokumenter. Namun saya yakin Reza tak hanya piawai berakting namun suaranyapun membahana menggelayut alam fikir penonton. Entah karena merdu, terbawa suasana, atau terbayang sosok gantengnya, entahlah….
Oiya..kamu gak hanya sekedar nonton film dokumenter biasa. Film ini sangat atraktif dengan gambar-gambar bergerak dan arransemen musik yang dinamis. Cerita pak Pongky tentang keluarganya yang mati di bunuh. Kisah penjaga klenteng yang kini tinggal 3 keluarga saja yang dahulu ada 30 keluarga di Banda. Lebih banyak pemuda Banda yang bersekolah keluar dan tak kembali. Kini sejarah Banda hanyalah tertinggal oleh orang tua. Semoga dengan hadirnya film ini semakin menggugah kita bangsa Indonesia untuk kembali mencintai sejarah. Warga Banda pun semakin bangga menjadi putera puteri Banda. Tetap menjaga warisan Bangsa, warisan dunia sebagai bukti sejarah perjuangan.
Selamat menonton yaaa…
Comments
Pesan :
kalo bale ke banda lai jang lupa kasih tau beta 😀
Author
Haha siap pacee, makasih
Mau Nobar tgl 4 nanti. Gak sabar pingin nonton 🙂
Author
ASIK jadi gimana ke Banda kita ?? hehhee