Palembang nan kesohor dengan sungai Musi dan Jembatan Ampera, hiruk pikuk kehidupan nelayan, wira wiri kapal dari ukuran 3-20 m bagai tak mengenal kata sepi bagi kota ini. Sehari cukupkah mengenyam kenikmatan wisata disini?
Yuk ikuti perjalanan saya, melenggang di Kota Lenggang
Sarapan pagi di warung “mie celor 26 Ilir Haji Syafei” adalah alternatif paling pas sebagai awal berkeliling di kota ini, walaupun Mi celor atau mi celup sesungguhnya bukan saja berasal dari Palembang, namun sudah sangat popular sejajar dengan kepopuleran pempek. Sejak pagi hari jajaran pengunjung sudah berderet, terkadang hampir tidak mendapatkan tempat duduk. Jadi sabar-sabarlah bila harus sedikit berdempetan dengan tamu-tamu lain. Kenyang? Sudah pasti, karena muatan karbohidrat dari mi dan kuah berpati keruh kekuningan , ditambah sepotong telur sebagai protein, serta setumpuk tauge sebagai sayuran menjadi sarapan nan lezat, uhm kiranya sudah cukup ya modal tenaga kita untuk berkeliling kota ini.

Sebelum menjelajah sungai Musi, kunjungi dulu Bukit Siguntang, letaknya kurang lebih 4 km dari mi celor, merupakan wisata bersejarah karena di Bukit ini bersemayam makam Raja dan Ratu Palembang antara lain Raja Sigentar Alam, Pangeran Raja Batu Api, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Tuan Junjungan, Panglima Bagus Kuning and Panglima Bagus Karang. Para pengunjung dan para jemaat yang sembahyang, serta aneka ritual keagamaan bisa kita temukan disini, aroma dupa terkadang tercium menyengat dan hilang pudar terbawa angin

Di tempat ini pula konon tahun 1920 ditemukan sebuah patung (arca) Budha bergaya seni Amarawati yang berasal dari abad XI masehi dan sekarang patung tersebut diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Ini menandakan bahwa saat kerajaan Palembang, agama Budha sudah masuk wilayah ini.
Ada beberapa anak tangga yang harus kita lalui, nikmati saja sebagai olahraga pagi hari, karena banyaknya pohon rindang disisi jalan menambah kesegaraan Bukit Siguntang. Selain itu dari atas bukit juga bisa kita nikmati panorama Kota Palembang
Hari sudah menunjukkan jam 10.00, ada baiknya beranjak menuju sentra tenun songket yang terkenal yang berada di kelurahan 30 ilir, kecamatan ilir barat II. Lokasinya di pemukiman padat kampung nelayan, rumah-rumah panggung dari kayu kerap kita temukan sepanjang jalan. Berhati-hatilah melintas disini, karena jalanannya tak terlalu besar, hingga apabila berpapasan dengan kendaraan roda empat lain, salah satu harus mengalah agar bisa melintas.

Kain Songket merupakan kain mewah kebanggan wong kito (sebutan bagi warga Palembang). Kain ini merupakan percampuran antara beberapa budaya, di India, Cina dan arab, sudah ada sejak Kesultanan Palembang Darussalam. Warga disini sebagian besar keturunan pengrajin songket secara turun temurun. Ada banyak nama-nama toko yang dikenal antara lain : Cek Ipah, Cek Ilah, Fikri Collection, Zainal Songket
Apabila ingin membeli songket pandai-pandailah memilih dan jangan ragu bertanya, karena banyak jenis dan harga, ada mutu ada harga itu sudah pasti. Namun apabila hanya ingin melihat proses pembuatannya, beberapa toko memperbolehkan kita melihat para pekerja songket, dari gadis belia hingga ibu separuh baya, bunyi kayu beradu, gulungan benang warna warni dan emas terpilin menghasilkan irama dalam ruangan.



Kini matahari sudah berasa menyengat, mie celor kini sudah tak bernyawa, habis sudah amunisi. Saatnya makan siang nan segar, apalagi kalau bukan Pindang, langsung melaju ke Rumah Makan Pindang Meranjat Bu Ucha, rumah makan yang terletak di jl. Demang Lebar Daun No.14 ini dikenal dengan sajian khas makanan Palembang selain empek empek tentunya. Tempat yang asik berupa joglo bisa duduk santai sambil lesehan, tentu tak sabar menanti kehadiran menu khas Palembang, ada Pindang Patin,pindang Udang dan Pindang tulang, Pindang ini hanya dibedakan bahan pokoknya saja. Yang pasti lezat dan segar dengan kuah bening aroma asam dan pedas, bisa bayangkan kesegarannya? Apalagi di tambah dengan ikan Seluang, sepintas mirip dengan ikan wader di Yogya, ikan mas baby di Jabar, bentuknya kecil, tawar dan digoreng kering hingga renyah. Oya, jangan lupa mencicipi sambal tempoyak patin, dibungkus rapi oleh daun pisang, aroma durian masih tercium walau sudah terfermentasi menjadi tempoyak, warna kemerahan cabai dan kunyit mencolok mata dan selera. Penasaran dengan rasanya? segera cari resto Palembang terdekat 🙂

Jangan berlama-lama duduk usai makan, karena kantuk pastikan datang. Bergegaslah bangkit dan kita akan menjelajah sungai Musi. Sungai yang sangat identik dengan Palembang ini tentu akan lebih santai di nikmati di kala senja hingga malam hari, sehingga saya putuskan untuk menyewa perahu menuju Pulau Kemaro. Pulau Kemaro berasal dari kata Kemarau, konon tak pernah tenggelam setinggi apapun sungai Musi ini terisi air, bagaikan ada pelampung ya di bawahnya.
Apa yang membuat pulau ini menarik, yaitu sebuah kisah bagai cinta Romeo Juliet. Dahulu kala ada seorang lelaki bernama Tan Bu Ann (Keturunan Tionghoa) yang jatuh cinta kepada Putri Raja Siti Fatimah, namun gagal menikah dan keduanya meninggal dunia( kisahnya bisa dibaca disini) . Tak jauh dari Pagoda berlantai 9 ini kita juga bisa melihat sebuah pohon tua, yang di sebut sebagai Pohon cinta.
Tak hanya menyaksikan nuansa Tionghoa di Pulau Kemaro, namun sensasi berperahu di sungai Musi memberi kesan tersendiri, karena biasanya perahu yang digunakan berukuran kecil dengan mesin tak lebih dari 10 PK, hingga bersiaplah diterjang ombak besar saat kapal-kapal besar melintas dekat perahu, karena alunan ombak kapal akan turut mengguncang perahu kita. Tapi itulah keseruannya, sambil menyaksikan kehidupan masyarakat di tepian sungai, mandi, mencuci ataupun anak-anak yang riang berlompatan ke dalam air. Saat perahu berada ditengah-tengah sungai Musi, melintas di bawah jembatan Ampera, sangat terasa jembatan sepanjang lebih dari 1km dan lebar 22 m begitu besar dan panjang.
Hari mulai senja, halaman tepi sungai tempat perahu bersandar mulai ramai di padati masyarakat, karena kawasan Ampera ini memang menjadi pusat hiburan dan keramaian di malam hari.
Cara paling asik menikmati sore di sungai Musi adalah dengan duduk sambil minum kopi di warung terapung. Dua buah kapal kayu bertengger di tepian sungai Musi. Selembar papan panjang menjadi sayu-satunya jembatan menuju warung terapung. Meja kayu panjang dilengkapi tempat duduk kayu, tak lupa sajian gorengan serta camilan tradisional lainnya lengkap tersaji diatas meja. Seorang bapak setengah bayapun sibuk merebus air di kompor minyak. Secangkir kopi panas menjadi pilihan favorit rupanya. Sambil mencomot gorengan tempe. Saya mengamati satu persatu aktivitas anak-anak bermain plembungan sabun
Diseberang jalan kita bisa melihat bentangan tembok panjang, bertuliskan huruf besar berlafal “Benteng Kutobesak”, Benteng ini merupakan sisa benteng pertahanan Kerajaan Palembang Darussalam di zaman penjajahan Belanda, hingga saat ini masih tampak terawat baik dan rapi.
Dan 200 m kearah jembatan, kita juga bisa menemukan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, anak tangga unik, bentuknya yang bercabang dua, atap merah mencolok serta berdinding putih bersih, menambah anggun bangunan yang dibangun tahun 1700 an dikala masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I atau yang lebih sering disebut Djohan Hanafiah.


Usai melihat-lihat koleksi antik museum, mulai dari mata uang, keramik, baju-baju kerajaan, senjata dan rangkaian peristiwa yang memuat sejarah perjuangan bangsa di dalam museum. Tak terasa Matahari mulai kembali berada di ufuk Barat. Museum pun segera tutup, dan lampu-lampu jembatan Ampera sudah mulai menyala, keramaian alun-alun di tepi sungai Musi semakin membludak, penjaja mulai menata bangku-bangku kecil di depan kedainya, suasana keramaian malam begitu terasa. Serta keindahan Ampera nyata ada di malam ini. Refleksi lampu membias ke air, kerlap kerlip lampu kendaraan hilir mudik melintas jembatan, terang benderang dari rumah penduduk di tepian sungai Musi, semakin menambah meriah malam minggu saya di kota ini.


Palembang perjalanan sehari ini begitu mengagumkan, makan malam pempek Saga Sudi mampir di Jl Merdeka menjadi pilihan penutup perjalanan hari ini. Sajian Tekwan, Lenggang bakar (pempek yang di campur telur bebek lalu dipanggang dalam wadah daun pisang) menjadi hidangan santap malam, dan tak lupa ditutup dengan kesegaran es kacang merah, seraya berucap Selamat malam Wong Kito !

Comments
wow mantap mbak, tempoyak itu kayak apa ya? jadi penasaran, sama es kacang merahnya, ya ampunn, bikin bumil pengen nih pas baca2 mbak. Bayangin mesen kopi dan cemilan di atas terapung. Ya ampun, suatu saat aku hrs ke Palembang nih 🙂
Author
wah tempoyak itu dari daging durian yang difermentasi jadi agak asam, trus diolah dengan campuran bahan bawang cabe dll, jadi asam segar gitu deh
ditambah es kacang merahnya juara dehh, wah bumil cocok ni minum kacang merah biar babynya rambutnya tebel hehehhe, selamat yaaa
Perasaan belum ke Palembang kalau belum ke Jembatan Ampera dan mencoba mie celor. Palembang dalam lensa unirai sungguh indah
Author
Iya uni, belum sah hahah, semoga kapan kapan kita bisa bareng ke Palembang yaaa
Waktu ke Lampung saya pernah nyobain tempoyak, rasanya khas banget, suapan pertama mmg aneh tapi entah kenapa nagih dan lanjut suapan berikutnya.
Pengen sih nyobain lagi, tapi di Palembang, mungkin sama kah rasanya? sama es kacang merah juga bikin penasaran heheh
Author
Iya tempoyak mmg memiliki citarasa khas, unik ya, es kacang merahnya juara deh
Akk mupeeng..bikin trip Palembang dong Uniii..
Author
Yuk yuk kita ke Palembang, halan halan bareeng
Aaak aku jadi kangen Palembang. Gak ada hari tanpa cuko kalo di Palembang. Ternyata banyak juga ya Mbak tempat menarik di Palembang. Aku cuma baru ke Jembatan Ampera, BKB, sama Pulau Kemaro aja nih.
Author
Iya d kotanya saja banyak destinasi unik lainnya, belum lg ke lahat dan pagar alam, Indonesia sungguh seru banget
Wah aku ke Palembang hanya numpang sarapan dan makan malam saja. Tidak sempat mengexplore Kota Palembang. Seru ya, Mbak
Author
apaaaaaaahhh belum explore, apa kata duniaaa, tetangaan sama Lampunggg, ayook ke Palembang, ajak gw yaaa
Ini kok Palembang rasa-rasanya jadi wah sekali ya dalam tulisan ini 🙂
Jadi penasaran ingin ke sana. Kaki ini belum pernah meninggalkan jejaknya di tanah Palembang.
Ngomong-ngomong, ikan seluang itu teri ya?
Author
hehehe harus dong makan pempek langsung di tempat asalnya
ikan Seluang itu ikan air tawar rasanya gak asin, di goreng kering jadi renyah, ayo dicoba