Ende, Salah satu bagian dari pulau Flores. Kota kecil namun memiliki keindahan alam nan elok. Ada 3 bandara sebagai gerbang masuk di Pulau Flores, antara lain melalui Bandara Labuan Bajo, Bandara Frans Seda di Maumere dan Bandara Haji Hasan Aroeboesman di Ende dari bandara Haji Hasan Aroeboesman dan Kota hanya memakan waktu 10 menit saja. Dari Maumere sekitar 2 jam dan 6-7 jam dari Labuan Bajo.
Menuju Kelimutu
Perjalanan menuju Kelimutu bisa ditempuh berbagai cara, bisa menggunakan kendaraan umum Ende-Moni, atau dengan menyewa mobil ataupun sepeda motor. BIsa juga dengan travel dari Labuan Bajo menuju Ende dengan biaya Rp 160.000 perorang. Setiba di Ende, Moni sudah tidak begitu jauh hanya sekitar 1 jam saja. Apabila datang seorang diri, bisa jadi pilihan yang seru juga dengan menggunakan jasa ojek sepeda motor. Karena sepanjang perjalanan menjanjikan keindahan alam nan cantik. Jalanan berkelok-kelok kerap menyisir perbukitan, jurang dan padang rumput, hutan-hutan kecil dengan pohon liar, hiruplah udara segar moni, belum ada polusi disini seperti di Ibukota.

Perjalanan terlalu singkat dirasa, tontonan alam tanpa jeda iklan begitu cepat usai. Kini,..Tiba di desa Moni, sepintas desa Moni mirip dengan suasana puncak di Jawa barat, banyak vila, penginapan kelas melati hingga mewah, dengan rate berkisar Rp 90.000 hingga Rp 400.000 per malam, siap memanjakan waktu istirahat kita di desa ini. Tak perlu memilih kamar dengan berpendingin udara, karena desa Moni sudah bersuhu 20 drajat di siang hari, bahkan bisa mencapai 10 drajat di pagi hari, atau apabila ada fasilitas AC pastika penghangatnya berjalan baik. Jadi sebelum kesini jangan sampai salah kostum, jaket, pashmina, kupluk dan sarung tangan wajib dibawa kalau tak ingin melek semalaman karena kedinginan tak bisa tidur.

Tak perlu kuatir mencari makanan disini, desa Moni sudah menjadi asset wisata International, hingga banyak café dan rumah makan yang siap melayani hingga malam hari, bahkan biasanya penginapan sederhana sekalipun melayani order makanan bagi tamu-tamunya, mulai dari mie instan hingga ikan bakar, hanya saja tipsnya pesanlah makanan sebelum anda lapar, karena cuaca dingin membuat sering cepat lapar, dan terkadang pesanan makanan memakan waktu cukup lama tiba di hadapan kita. Disarankan jangan begadang, karena petualangan seru akan dimulai sebelum ayam berkokok alias subuh-subuh buta, kalau kesiangan, anda akan kehilangan fenomena cantik yang dijanjikan dari Kelimutu.
Sunrise di Danau Tiga Warna
Paling lambat pukul 03.30 untuk bangun, dan 30 menit kemudian suara dering telpon sudah berteriak-teriak dari supir ojek saya, dia sudah stand by berdiri depan home stay, kalau lah ini tidak di Kelimutu tentu saya memilih menarik selimut lagi. Setelah bebersih sejenak di Kamar Mandi, sayapun bergegas keluar dari kamar dan tak lupa menyambar jaket tebal dan kupluk wool di kepala. Siap berangkat mendahului sang mentari menuju Danau Tiga warna.

Udara dingin mulai terasa menusuk ujung-ujung jari, sarung tangan wool ini ternyata tak cukup menahan dinginnya pagi gelap ini. Mulut tertutup kaku, saya selempangkan dengan kain agar sedikit hangat. Motor melaju tanpa kendali, hanya 20 menit menuju area parkir wisata. Lampu sorot dari mobil dan motor liar bak perang laser menyambar kesana kemari menata parkirnya. Para pengunjungpun sudah ramai bersiap mendaki Gunung Kelimutu.
Tahun 1915 Konon Kelimutu ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang warga Belanda bernama Van Such Telen dan mulai 26 Februari 1992, Kawasan Kelimutu yang memiliki luas lebih dari 1 ha ini sudah disyahkan menjadi salah satu bagian dari 55 Taman Nasional yang dilindungi di Indonesia. Harga Loket yang tergolong sangat murah, dengan janji pemandangan indah di puncak sana.

Kini saatnya memulai perjalanan, jangan lupa tarik nafas dalam-dalam sebelum menanjak, …lets go … trekking menuju danau kata Jefry sang abang ojek sekaligus menjadi guide saya selama di Ende. Jefry salah seorang Putra asli asal Flores, lahir dan besar di pulau ini, wajah gelap dan rambut ikal, namun hatinya baik sekali, kalau tidak karena deringan telponnya yang berkali-kali mungkin saya tak terbangun pagi ini. Nafas saya mulai tersengal, karena oksigen terasa mulai menipis dibarengi dengan dinginnya suhu, suara dan sinar dari senter Jefry memecah keheningan pagi, ia menawarkan dirinya membawakan tas kamera di punggung saya, yang serta merta saya sambut pula dengan suka cita. Pelan pelan saja, trekingnya tidak begitu jauh, hanya 15 menit berjalan normal, dan 30 menit dengan kecepatan sangat santai.

Lokasi gunung Kelimutu dengan ketinggian 1640 mdpl ini tepatnya berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Selain dikenal dengan Danau Kelimutu danau ini juga kerap disebut danau tiga warna, karena ada tiga warna danau yang berubah ubah dalam kurun waktu tertentu, setahun bisa 2 kali berubah warna, yang tadinya putih, kemudian biru tosca bisa menjadi merah kehitaman, begitu pula sebaliknya, bergantian diantara ketiga danau.
Keunikan alam ini menimbulkan beragam pendapat dan sudut pandang berbeda dari masing-masing orang. Mulai dari kepercayaan, legenda, hingga ilmu pengetahuan ilmiah.
Berdasar informasi penduduk setempat, Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna – warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Dari banyak Penelitian ilmiah mengatakan bahwa perubahan warna pada danau disebabkan oleh unsur-unsur micro-organisme yang hidup di dalam danau, aneka plankton, lumut berpadu dengan kandungan mineral dan bebatuan yang terkandung, mengalami proses biologi sehingga menimbulkan warna air yang berubah-ubah sejalan dengan perubahan arah bias matahari.
Pepohonan pinus yang tadi tampak berjajar rapat kini mulai menjarang, lahan terbuka mulai tampak samar-samar oleh sinar rembulan. Lega sejenak saat tiba di area ini. “Disini nanti sudah bisa melihat matahari terbit” ujar Jefry, saya hanya mengangguk. Karena benak saya masih mencari-cari “dimana danaunya?” … “Disana 50 meter lagi menaiki anak tangga” teriak Jefry, sayapun bergegas mengarah ke danau, dan bak melihat monster raksasa jantung berdegub kencang, betapa tidak, danau yang selama ini hanya saya saksikan di kalender dinding rumah kini ada di depan mata, walau masih gelap, tampak sudah air danau berbinar-binar oleh cahaya bulan.
Dari arah kiri di ujung sana, rona lembayung di di cakrawala mulai terpancar, tirai saat lagi tentu terbuka, awan tipis bergerombol seakan menghalangi-halangi sang surya menuju panggungnya. Saya bergegas kembali dan berjalan kearah puncak pandang. Namun tangga yang meliuk cukup banyak berjajar diatas sana, Sabar, jalani satu persatu, karena pemandangan indah pasti dari atas sana.
20 menit berlalu, matahari naik bersamaan tiba saya di puncak pandang. Maha Besar Sang Pencipta Alam semesta, membias, memancar, merona memerah, seperti wajah putri dalam dongeng khayangan, mentari dengan anggun menyembul dari balik bukit, perlahan semakin meninggi, danau yang tadi tampak kelam, kini sudah terang benderang. Bak tontonan konser di arena panggung, para pengunjung bertepuk tangan menyaksikan keindahan Kelimutu bersamaan dengan terbitnya sang surya.
Pengunjung bagai tak pernah kehabisan memori kameranya, memburu bak peluru terbang di arena perang. Turis dari berbagai Negara, warga Indonesia, semua berkumpul disini dengan suka cita, sibuk mengabadikan keindahannya, canda ria pengunjungpun tak kalah riuh dengan gerombolan monyet yang kelaparan bermunculan. Jaga barang bawaan anda, karena walau tak seganas monyet-monyet di Uluwatu bali, namun tindakan antisipasi dengan waspada justru lebih baik.
Tak seperti danau Toba, atau danau Singkarak di Sumatera yang kita bisa dengan santai berenang-renang bahagia, di danau Kelimutu adalah sebuah larangan keras untuk berenang, karena selain medan yang cukup berat menuju bibir danau , juga karena kandungan mineralnya yang tidak baik untuk kesehatan. Konon dahulu pernah ada yang mencoba berenang di danau ini, dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Kabut mulai turun, tak terasa sudah lebih dari 5 jam berada di Puncak Gunung Kelimutu. Berat langkah meninggalkannya, namun memang sudah saatnya untuk kembali ke area parkir. Sebagai buah tangan, jangan lupa membeli kain tenun khas Flores disini. Souvenir aneka kain tenun warna warni dengan harga bervariasi, mulai dari 50.000 hingga ratusan ribu tergantung besar dan kecilnya kain. Atau sekedar minum kopi dan sarapan sederhana, tentu menambah suasana hangat obrolan di udara dingin Kelimutu.
Air Terjun Moni

Sebelum kembali menuju Kota Ende, jangan lewatkan air terjun yang hanya berjarak 2 km dari area parkir Danau Kelimutu. Petunjuk paling gampang adalah di tepi jalan ada “café Rainbow”, kita bisa parkir ditepi jalan, dan melanjutkan dengan jalan kaki tak lebih dari 10 menit. Beberapa pengunjung juga terkadang mandi di air terjun ini, asal tahan dengan air dinginnya.Kembali di kota Ende. Hawa sejuk dan dingin kini sudah berganti
dengan teriknya matahari. Baju dingin berlapis kini tak dilirik lagi, kaos tipis dan topi lebar serta kaca mata UV menjadi pilihan tepat, karena kini kita sudah berada di Kota Ende yang berbatasan langsung dengan pantai. Tujuan berikutnya adalah Pantai Batu Biru, unik bukaan.. ?
Pantai Penggajawa. Lokasinya hanya 30 menit dari kota, karena hanya berjarak Pantai 20 km ke arah barat Kota Ende. Tepatnya di Desa Nggorea. Bisa menggunakan kendaraan umum, naik angkutan kota ke terminal Ndao dan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Nangapanda, katakan saja turun di Pantai Penggajawa. Tempat ini sudah sangat terkenal, jadi saya yakin tidak akan tersesat.

Sepanjang perjalanan disuguhkan panorama laut nan indah di sebelah kiri. Berkelok menyusuri perbukitan di kanan. Pantai dengan pasir merah kecoklatan mulai berubah struktur dengan bebatuan, sebagian pasir hitam di bawahnya tampak berkilau-kilau diterpa matahari pagi. Semakin jauh bebatuan batu bulat oval semakin tampak bertambah banyak. Di ujung tepi pantai Para wanita dan lelaki tampak terjongkok di tepi pantai. Rasa penasaran saya semakin besar, dan mencoba menghampiri. Bebatuan biru dikumpulkan satu demi satu dalam keranjang anyaman bambu. …“ini untuk dijual” … ujar seorang ibu dengan balutan kain dikepalanya, sepanjang mata memandang pantai terhampar bebatuan biru tosca, putih dan hijau. Perpaduan batu dengan warna Indah sekali. Rasa campur aduk menggerogoti fikiran saya, satu sisi tak rela bebatuan ini di ambil dan dijual ke pulau lain bahkan hingga luar negeri, namun sisi lain, batu ini adalah sumber perekonomian masyarakat. Onggokan batu-batu berjajar di tepi jalan. Siap diangkut oleh pengepul dan menjualnya ke makelar batu.
Sesaat saya sibuk memilih dan melihat-lihat warna batu, aneka motif tergambar dari setiap batunya, unik dan menarik, kalau menuruti kata hati, tak ingin beranjak dari tempat ini, namun rasa menyengat mulai terasa, matahari mulai meninggi, karena tak ada warung atau penjaja makanan, jangan lupa membawa bekal secukupnya. Kini saatnya istirahat dan kembali ke Kota Ende. Selamat Tinggal Pantai Penggajawa semoga batu-batumu tetap lestari, entahlah mungkin terlalu jadi harapan yang Naif.
Rumah Bung Karno
Usai melahap habis makan siang, perjalanan saya lanjutkan mengunjungi Rumah Bung Karno, lokasinya berada di di jalan Perwira di Kota Ende, Kelurahan Kotaraja Kecamatan Ende Utara. Bangunan ini merupakan bekas rumah atau tempat tinggal Bung Karno dan keluarga semasa pembuangan/ pengasingan di Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1934-1938 yang masih dijaga, dirawat dan dipertahankan keasliannya oleh Pemerintah Kabupaten Ende.
Semua barang koleksi milik Bung Karno masih tersimpan dengan baik di dalam museum ini antara lain foto keluarga, foto pribadi Bung Karno, barang keramik, dua buah tongkat berkepala monyet, pulpen ukuran besar, piring nasi, cerek air minum, besi seterika, alat gantungan pakaian, lemari pakaian, tempat tidur besi, lukisan- lukisan dan masih banyak barang koleksi lainnya.
Di dalam Situs Rumah Bung Karno juga terdapat tempat sujud/ruang semedi dan tempat sembahyang/sholat yang selalu digunakan oleh Bung Karno bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon bantuan bagi Perjuangan Kemerdekaan bangsa Indonesia hingga membekas di lantai. Di belakang museum Bung Karno terdapat sebuah sumur dengan kedalaman 12 meter yang digunakan oleh Bung Karno untuk mandi, cuci dan minum serta ber-wudhu.
Sunset di Pantai Ende
Tak terasa perjalanan hari ini cukup memakan waktu, hari sudah mulai sore, aktivitas masyarakat mulai sibuk menuju kembali ke rumah dari rutinitas harian. Tepian pantai Kota Ende menjadi pilihan saya di ujung hari terakhir di Kota ini. Banyak pula penduduk lokal yang bermain dan bersantai bersama teman dan keluarga. Memandang laut lepas dengan lampu kerlap kerlip dari pulau di depan. Perahu wira wiri kembali ke dermaga, anak-anak saling berteriak bermain saling berkejaran. Masih banyak keindahan lain di Flores, Ende hanya bagian kecil dari segudang nama tempat indah di pulau Flores. Sambil menikmati teh hangat dan sepotong tempe goreng, perjalanan kali ini telah diawali dengan sunrise di Kelimutu dan berakhir dengan sunset indah di Pantai Ende.

Note:Jalur penerbangan:
- · Penerbangan Menuju Ende, bisa ditempuh langsung dari bandara Denpasar dan Kupang
- · Di bandara banyak jasa travel maupun ojek menuju kota, atau langsung mengantar ke Moni
Comments
Makin yakin may ke sini. Aku japri, ya, kak. Buat tetanya.
Author
Siaapp boleh
artiya gak terlalu rumit juga ya untuk akses ke Ende mbak. One day pengen banget jumpa sama kamu dan belajar fotografi travel sama mbak Raiyani.
Author
Yuk kita sama berbagi
Cantiknya Ende, langitnya baguuus…speechless deeh.
Author
Seperti yang komen sama cantiknya Makasih sudah berkunjung