MALINAU, nama yang tak sepopuler Lombok atau Bali, mungin masih asing di dengar oleh para traveler ataupun wisatawan dalam dan luar negeri, penasarankan? Malinau adalah nama kota Kabupaten di Provinsi ke 34 yaitu Kalimantan Utara. Ada apa saja di Malinau? yuk ikuti kisah perjalanan seru saya ya.
Menuju Malinau dari Jakarta bisa melalui Tarakan, Palu, atau Balikpapan. Nah saya memilih masuk melalui kota Tarakan. Penerbangan dari Jakarta tanpa transit dilayani oleh maskapai Lion dan Batik. Langsung deh cari tiket pesawat online karena lebih mudah dan cepat. Dari kota Tarakan kemudian saya melanjutkan penerbangan dengan pesawat Wings air tipe ATR langsung dari bandara Juwata Tarakan menuju bandara Robert Atty Bessing di Malinau. Harga tiket pesawat ke Malinau ini pun sangat terjangkau, tidak lebih dari 400.000 sekali jalan, belum lagi dapat berbagai Promo diskon yang ditawarkan Pegipegi.com . Penerbangan dari Juwata Tarakan ke bandara Robert Atty Bessing hanya ditempuh selama 40 menit. dan menuju ke kota Malinau nya tidak jauh kok, hanya 2 km saja. Jadi sangat mudah di akses.
Jalanan mulus beraspal menuju desa Setulang. Di sisi kanan saya melihat sungai Malinau yang airnya jernih, rasanya ingin sekali berhenti sejenak dan merasakan sejuknya air sungai, namun saya urungkan niat karena saya akan ke air terjun Semolon, yang tentu airnya jauh lebih sejuk daripada air di sungai ini. 45 menit sudah perjalanan ditempuh, akhirnya saya menemukan pertigaan , nah apabila kita belok ke kanan kita akan menuju air terjun Semolon, dan apabila ambil arah lurus menuju desa Setulang
Uniknya lagi, saya bertemu dengan Patung buaya besar berukuran kurang lebih 25 m. Buaya (Ulung Buaye) menjadi lambang sakral bagi suku dayak Lun dayeh. Buaya tak hanya sebagai lambang kesatrian seorang Dayak karena badannya yang besar dan kuat, namun juga diyakini bahwa roh buaya putih yang kerap ditemukan disekitar malinau menjadi signal alam terhadap kondisi baik atau buruk bagi suku Dayak Lun dayeh.
Ada beberapa suku asli Dayak yang ada di Malinau, antara lain, suku Dayak Tidung, Dayak Kenyah, Dayak Tagal, Dayak Merap, Dayak Punan, Dayak Lun Dayeh, Dayak Abbay dan Murut. Dan berbagai suku ini hidup rukun damai dan memegang teguh adat istiadat yang berkembang di Malinau. Hal ini tergambar dari masih lestarinya upacara adat, tarian, ukiran kayu, perhiasan, dan aneka tata cara kehidupan di masyarakat. Tentu hal ini menjadi salah satu daya tarik dan kekuatan utama dalam mengembangkan dan memelihara budaya sebagai kearifan lokal.
Sebagian jalanan saat saya kesini masih berupa tanah merah, keseruan bersepeda motor memacu adrenalin. Empat puluh empat kilometer dari kota Malinau, membelah hutan tropis, merasakan basah embun di dedaunan hutan lebat, memberi oksigen baru bagi saya. Aroma air terasa semakin mendekat, Akhirnya saya tiba di kawasan air terjun Semolon. Jembatan merah!, ya mata saya tertuju pada sebuah jembatan gantung berwarna merah, seketika mengingatkan saya pada jembatan gantung di kebun raya Bogor. Dibawahnya mengalir deras sungai Malinau. Kesejukan alam begitu terasa. Perlahan saya berjalan melintasi jembatan merah, terkadang berhenti sejenak memotret keindahannya. Di ujung sana saya melihat air mengalir berundak-undak, serasah basah saya tapaki, sesekali tergelincir di bebatuan berlumut.
Di air terjun Semolon, airnya mengalir dari satu teras ke teras lain, bak pola teras sering sawah di Bali. Airnya bersih, bening mengundang untuk bermain di kolamnya. Uniknya lagi sumber mata airnya ada yang hangat dan dingin, hingga tempat ini dijadikan tempat berobat bagi pengunjung.
Puas hati menikmati air terjun Semolon, akhirnya saya beranjak meninggalkan gemericik air dan melanjutnya perjalanan menuju Desa Setulang
Mencari jejak nenek kuping panjang di Desa Setulang
Tak lengkap rasanya apbila ke Kalimantan tak bertemu nenek kuping panjang, karena inilah salah satu budaya yang sudah jarang ditemukan di Kalimantan. Dahulu wanita memiliki kuping panjang adalah simbol kecantikan wanita Dayak. Namun sejalan perkembangan masa, adat kuping panjang mulai punah, karena generasi mudanya sudah tidak lagi ingin memiliki kuping panjang. Kuping panjang dimulai sejak kecil, dengan memberi pemberat berupa logam kuningan pada telinga wanita, berjalan waktu pemberat logam akan semakin bertambah, hingga lubang yang terbentuk akan tertarik ke bawah.

Meninggalkan lokasi air terjun Semolon, kami kembali bertemu simpang tiga dan berbelok ke kanan menuju desa Setulang. Bahan bakar mulai menipis dan berhenti sejenak di kampung Tentaban di kiri jalan tampak berjajar rumah-rumah kayu bercat hijau tertata rapi tengahnya anak-anak tampak bermain di lapangan sepak bola. Pemandangan ini akan jarang kita temukan, karena pemukiman menuju desa Setulang masih jarang.
Satu jam sudah kami menempuh mulusnya jalan beraspal, sepeda motor melambat dan memasuki sebuah lapangan, dari kejauhan mata saya sudah tertuju pada keunikan rumah adat lapangan rumput hijau terbentang di depannya. Menambah anggun suasa desa. Inilah Desa Setulang yang berada di tepi aliran pertemuan sungai Setulang dan Malinau.
Saya terpaku mengamati ukiran cantik pada tiang Balai adat (Lamin adat) , sosok kepala manusia kerap kita temui pada ukiran tiang penyangga rumah adat, hingga menjadi ciri khas rumah-rumah adat suku Dayak di kalimantan. Desa adat Setulang di dominasi oleh suku Dayak Kenyah
Disini desa Setulang kita bisa melihat banyak hal yang berhubungan dengan kesenian daerah khas suku Dayak Kenyah. Baik itu kerajinan tangan, tari-tarian, ukiran, balai adat, rumah panjang, apalagi keindahan alamnya. Desa Setulang masih memegang adat hidup bersama alam, tak heran apabila wilayah ini pernah mendapatkan Kalpataru. Karena hutan di sekitar desa selalu dijaga kelestariannya. Menebang pohon tanpa izin adalah pelanggaran adat.

Balai adat (Lamin adat) Adjang Lidem ini dibangun sekitar tahun 1990, diresmikan tahun 2005. Tahun 2013 akhirnya keluar Perda kab Malimau, ditetapkanlah desa Setulang sebagai desa wisata dengan SK Bupati Malinau Nomor 430/k.351/2013

Berbincang sejenak dengan RT setempat sembari meminta izin memasuki desa Setulang ini, pak Kayang pun banyak bercerita tentang lingkungan sekitarnya, kehidupan bertani menjadi mata pencaharian pokok masyarakatnya. Penduduk setempat banyak menganut agama Kristen protestan hingga setiap menyambut natal, suasana akan sangat meriah,salah satunya dengan pertandingan sepakbola antar RT, ada 6 RT di desa Setulang, rumah kau berjajar mengelilingi lapangan. Suara hiruk pikuk masyarakat bermain bolapun sangat tergambar.
Berdasar info dari Pak Kayang, akhirnya saya mencari nenek berkuping panjang di dekat desa Setulang, dan betapa bahagianya saya bisa bertemu dengan sepasang suami istri di rumahnya, dialah pak Unya yang berusia 88 tahun dan nek djigit usia 85 tahun. Tampak masih kuat dan sehat walau pendengarannya sudah berkurang.

BENING dan SERAUNG
Kalimantan sangat identik dengan hiasan manik manik, ini adalah bentuk karya seni yang berkembang baik di Kalimantan sejak zaman dahulu, terutama di kawasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Kemarin saya berfikir akan sulit sekali menemukan manik-manik ini yang masih di gunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun di desa Setulang, Kabupaten Malinau Kalimantan Utara, kita dapat menemukan seni manik-manik ini digunakan sebagai penghias topi dan gendongan anak. Hiasan-hiasan lain yang juga sering ditemukan adalah kepeng perang dan taring babi, dipercaya ini adaah sebagai penolak bala dan juga lambang keberanian dan kejantanan.
Saya sangat terpukau mengamati satu persatu ukiran-ukiran pada dinding rumah lamin serta pahatan patung kayu sebagai tiang penyangganya. Sesaat melintas seorang ibu dengan berkendaraan roda dua, menggendong anaknya di belakang dengan menggunakan “Bening”, seorang anak mungil nan cantik berkulit putih melongok dari balik gendongan kayu. Saya tertuju pada gendongan cantik si anak, “Unik dan Indah” itulah kesan pertama yang saya lihat. Tak seperti laiknya gendongan bayi dari kain yang kerap di lihat.
Bening adalah keranjang yang terbuat dari bulatan kayu yang dibelah dan bagian bawahnya diberi tempat dudukan dan digunakan untuk menggendong anak balita berukuran sekitar 30 cm. Pada kedua sisi diberi tali yang digunakan untuk menyangkutkan gendongan pada bahu. Agar bening tampak indah, bening dihias dengan manik manik dengan motif binatang, pohon atau daun, semua lambang ini memiliki makna dalam adat, si ibu nan cantik juga terlihat tersenyum dari balik seraungnya. Seraung adalah Topi berbentuk lebar yang biasa digunakan untuk bekerja di ladang atau untuk menahan sinar matahari dan hujan. Seraung dibuat dari daun pandan yang telah dikeringkan.
Sembari menyapa ramah pada si kecil, saya berbincang sejenak dengan si ibu, ini adalah pemandangan yang sangat jarang ditemukan di perkotaan, namun di desa setulang ini masih bisa kita temui Mahakarya budaya nan indah. Saya amati satu persatu rumah di sekitar, masing-masing rumah tergantung seraung. Beberapa rumah masih ditemui ibu-ibu duduk di teras santai menghias seraungnya.
Dari Bening dan Seraung kita dapat menyaksikan bahwa modernitas tidak menelan budaya. Teknologi berkendaraan, televisi dan telpon genggam sudah bukan menjadi barang langka di desa ini, Namun adat dan budaya masih tetap dijaga. Semoga tetap lestari sebagai kekayaan budaya Indonesia
Sebagai bentuk pelestarian budaya, saat ini banyak seraung-seraung ukuran kecil sebagai benda buah tangan dari Kalimantan